KEWAJIBAN
TA’AT KEPADA PENGUASA YANG ‘ADIL DAN DZHOLIM
SELAMA
MASIH MENEGAKKAN SYARIAT ALLAH DAN
TIDAK
MENAMPAKAN KEKAFIRAN
(Part
1)
Firman
Allah Ta’ala:
(“Hai orang-orang yang
beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rosul-Nya
dan ulil amri diantara
kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka
kembalikan urusan tersebut kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rosul (As Sunnah),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kiamat, yang
demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya”/An-Nisa’:59).
ASBABUL
NUZUL AYAT
- Imam Bukhori rahimahullah Ta’ala
berkata, telah bercerita kepada kami Shodaqoh bin fadl, telah bercerita
kepada kami Hajaj bin Muhammad A’war, dari ibnu Juraij, dari Ya’la bin
Muslim dari Sa’id bin Jubair,dari ibnu Abbas ra; ia berkata: “ayat ini
diturunkan kepada Abdullah bin Khudafah bin Qois bin Ady, ketika ia diutus
oleh Rosulullah Saw untuk memimpin pasukan khusus”.
- Imam Ahmad rahimahullah Ta’ala
berkata, telah bercerita kepada kami Abu Muawiyah, telah bercerita kami Al
A’mas, dari Sa’id bin Ubadah, dari Abu Abdurrahman As Silmi, dari Ali bin
Abi Tholib ra, dia berkata: “ketika Rosulullah saw telah mengirimkan
sebuah pasukan khusus, lalu dia mengangkat salah seorang pemimpinnya dari
kalangan anshor, maka tatkala mereka berangkat, mereka mendapatkan sesuatu
pada diri mereka, lalu Ali bercerita; salah seorang pemimpin mereka
berkata: “bukankah Rosulullah Saw telah memerintahkan kepada kalian untuk
mentaatiku?, mereka menjawab, benar. lalu dia berkata, kalau begitu
carilah dan kumpulkan kayu bakar untukku, lalu bakarlah kayu bakar
tersebut, kemudian pemimpin mereka berkata; “aku menginginkan agar kalian
semua masuk kedalam api tersebut. Maka salah seorang pemuda dari mereka
berkata: “sesungguhnya jalan keluar dari api tersebut sebagai keputusannya
adalah Rosulullah Saw, oleh sebab itu janganlah kalian tergesa-gesa masuk
kedalamnya sebelum kalian menemui Rosulullah Saw terlebih dahulu. Jika
kalian diperintahkan oleh beliau Saw untuk masuk kedalam api tersebut,
maka masuklah kalian. Kemudian mereka kembali kepada Rosulullah Saw, dan
menceritakan peristiwa tersebut kepada beliau, lalu Rosulullah saw berkata
kepada mereka: “seandainya kalian masuk kedalam api tersebut, maka kalian
tidak akan pernah keluar selama-lamanya. Bahwasanya ketaatan itu hanya
dalam kebaikan saja. Imam bukhori dan muslim juga meriwayatkan dalam kitab
shohihain mereka dari jalur Al A’mas dengan lafadz yang sama
(tafsir
Ibnu katsir: juz2/342)
TAFSIR
AL-QUR’AN
- Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As
Sa’di rahimahullah Ta’ala berkata: (“Maka mengembalikan semua keputusan
kepada keduanya (Al-Qur’an dan As sunnah) merupakan syarat keimanan, oleh
sebab itu Dia Swt berfirman (“jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian”), maksudnya, hal
ini menunjukan bahwa barang siapa yang tidak mengembalikan segala urusan
yang diperselisihkan kepada keduanya, maka pada hakikatnya dia bukan orang
yang beriman, namun dia orang yang beriman kepada Thogut (segala sesuatu
yang diibadahi selain Allah).
Sebagaimana telah disebutkan dalam ayat sebelumnya”).
Kemudian
firman-Nya
(“yang demikian itu”), maksudnya mengembalikan semua
keputusan
kepada Allah dan Rosul-Nya. Dan firman-Nya (“lebih utama dan
lebih baik akibatnya”), maksudnya maka barang
siapa yang memutuskan
hukum
kepada Allah dan Rosul-Nya, maka itulah hukum yang paling baik dan
lebih adil serta bermaslahat bagi semua manusia
baik dalam persoalan
agamanya
ataupun dunianya.
Tafsir Taisirul karimurrahman fie
tafsir kalamil manan: juz1/183)
- Abu Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah
Ta’ala berkata: (“Hal ini merupakan perintah Allah Swt, bahwa setiap ada
perselisihan diantara manusia hendaknya dikembalikan kepada Allah Swt
(Al-Qur’an) dan Rosul-Nya (As Sunnah), baik menyangkut urusan yang pokok
(dasar) ataupun yang cabang. Sebagaimana Dia Swt berfirman (“Tentang
sesuatu apapun kalian berselisih, maka keputusannya hanya diserahkan
kepada Allah dan Rosul-Nya”/Asy-Syuro:10). Maka apa saja yang diputuskan
oleh Allah Swt didalam Al-Qur’an dan Rosulullah Saw didalam As Sunnah yang
dipersaksikan keshohihannya, maka hal itu merupakan kebenaran, dan tidak
ada sesudah perkara yang benar melainkan kebatilan belaka.karena itulah
dalam firman selanjutnya (“jika kalian benar-benar beriman kapada Allah
dan hari kemudian”). Kembalikan semua perselisihan dan ketidaktauan itu kepada kitab Allah (Al-Qur’an) dan
sunnah Rosul-Nya, maka carilah keputusan masalah yang kalian perselisihkan
itu kepada keduanya. (“jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian”), maksudnya hal ini
menunjukan bahwa barang siapa yang tidak menyerahkan segala keputusan
hukum kepada kitabullah dan sunnah Rosul-Nya disaat berselisih pendapat
dan tidak mengembalikan keputusan tersebut kepada keduanya, maka dia bukan
orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat. Dan firman-Nya (“yang
demikian itu lebih utama bagi kalian”), maksudnya menyerahkan segala
keputusan kepada kitabullah dan sunnah Rosul-Nya serta mengembalikan
kepada keduanya dalam menyelesaikan semua perselisihan pendapat merupakan
hal yang lebih utama
- .(Tafsir Al Qur’an Al Adhim: Ibnu
Katsir: juz2/34)
- Imam Qurtuby rahimahullah Ta’ala
berkata: (“maka kembalikan segala urusan kepada Allah dan Rosul-Nya”),
maksudnya mengembalikan segala keputusan hukum kepada kitabullah
(Al-Qur’an), atau kepada Rosul-Nya dalam semua perselisihan ketika masa
hidupnya serta mengacu kepada sunnahnya ketika beliau telah wafat, inilah
yang dikatakan oleh Mujahid, Al A’mas, dan Qotadah. Dan itulah pendapat
yang benar. Dan barang siapa yang
tidak melihat (peduli) terhadap persoalan hal ini, maka hilanglah
keimanannya (bukan orang mukmin). Yang demikian itulah Allah Swt
berfirman (“jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian”). Bisa dikatakan, maksudnya adalah “katakanlah, hanya Allah dan
Rosul-Nya yang paling mengetahui. Maka inilah yang dimaksud mengembalikan
segala urusan.
(Tafsir Al Jami’Li Ahkamil Qur’an: Imam Qurtuby: juz5/261).
- Imam Syaukani rahimahullah Ta’ala
berkata: Ketika Allah Swt memerintahkan kepada para penguasa dan para
hakim tatkala mereka memutuskan hukum diantara manusia, supaya mereka
memutuskan dengan kebenaran (kembali kepada Allah dan Rosul-Nya). Yang
dimaksud seseorang diperintahkan untuk mentaati para penguasanya adalah apabila para pemimpin tersebut mentaati Allah Azza wa Jalla
dengan menjalankan apa
yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya dan mentaati
Rosul-Nya
dengan menjalankan segala apa yang diperintahkannya dan
menjauhi
apa yang dilarangnya.
Jadi
yang disebut “Ulil amri” tersebut yaitu mereka para penguasa,
para
pemimpin, dan para hakim yang menjalankan kekuasaannya
dengan
syariat (islam) bukan syariat (thogut). Dan ketaatan kepada
mereka
selama mereka mengajak yang ma’ruf dan melarang yang
maksiat
(mungkar). Maka tidak ada ketaatan kepada manusia dalam
rangka
berbuat maksiat kepada Allah. Sebagaimana telah disebutkan dalam
hadits Rosulullah Saw. Dan Jabir bin Abdillah
serta Mujahid menjelaskan
bahwa yang dimaksud “Ulil amri” yaitu mereka
para ahli Qur’an dan ahli ilmu.
(Tafsir Fathul
Qodir: Imam As Saukani)
- Imam Baghowi rahimahullah Ta’ala
berkata: “Telah berkata Ali bin abi Tholib ra: Wajib bagi para penguasa
(pemimpin) untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah (syariat
islam), dan menjalankan amanat-Nya dengan benar. maka apabila dia
mengerjakannya, wajib bagi rakyatnya untuk mendengar dan mentaati
perintahnya. Sebagaimana firman-Nya (“maka kembalikan semua urusan itu
kepada Allah dan Rosul-Nya”), maksudnya adalah kembali kepada kitabullah
(Al-Qur’an) dan kepada Rosul-Nya ketika beliau masih hidup, serta mengambil
sunnahnya tatkala beliau sudah wafat. Adapun mengembalikan segala
perselisihan kepada Al-Qur’an dan As Sunnah merupakan hal yang wajib
menakala ditemui didalamnya. Sebaliknya apabila tidak didapatkan
keterangannya, maka dengan jalan ijtihad. Dikatakan bahwa, maksud kembali
kepada Allah dan Rosul-Nya yaitu ketika orang tidak mengerti (hukum
persoalannya), agar dia mengatakan: “hanya Allah dan Rosul-Nya yang paling
mengerti”. Dan firman-Nya (“jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian”), yaitu kembali kepada Allah dan Rosul-Nya. Dan
firman-Nya (“yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya”),
yaitu lebih baik dari harta (kekayaan) dan akibat yang dilakukannya.
(Tafsir Ma’alimut Tanzil:
Imam Baghowi:juz2/240).
- Abu
Ja’far Ath Thobari rahimahullah Ta’ala berkata tentang pengertian ayat:
(“maka jika kalian berselisih tentang urusan itu, maka kembalikan kepada
Allah dan Rosul-Nya jika kalian benar-benar beriman kapada Allah dan hari
kemudian”), maksudnya adalah “apabila
kalian berselisih, wahai orang-orang yang beriman baik yang menyangkut
urusan agama atau persoalan pemerintahan kalian, hendaknya dikembalikan
kepada Allah. Maka carilah pengetauan hukum yang kalian perselisihkan itu didalam
kitabullah (Al-Qur’an). Apabila
kalian mendapatkannya, maka ikutilah hukum tersebut. Adapun firman-Nya
(“dan kembalikan kepada Rosul-Nya”), maksudnya; apabila kalian tidak mendapatkan ilmu
yang menunjukan hukum persoalan tersebut didalam Al-Qur’an, maka
serahkan hukum tersebut kepada
Rosul-Nya ketika beliau masih hidup dan ambillah sunnah beliau sebagai
sumber hukum ketika beliau telah wafat. Dan firman-Nya (“jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah”), artinya; kerjakanlah perintah
tersebut, jika kalian membenarkan agama Allah berupa (syariat-Nya). Adapun
firman-Nya (“dan hari kemudian”), artinya pada hari pembalasan yang
didalamnya ada pahala dan siksa. Maka sesungguhnya apabila kalian
mengerjakan apa yang diperintahkan, niscaya kalian akan mendapat balasan
pahala dan kenikmatan dari Allah (disyurga). Sebaliknya jika kalian
melanggarnya, maka Ia akan menyiksa kalian (dineraka).
(Tafsir Al Jami’ul Bayan fie Ta’wilil
Qur’an: Ath Thobari:juz8/504)
- Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah Ta’ala berkata: “Dia (Allah) telah memerintahkan kepada
mereka (orang-orang yang beriman), ketika mereka berselisih
pendapat tentang sesuatu, agar persoalan
tersebut dikembalikan kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rosul-Nya (As sunnah),
sebagaimana Dia Swt berfirman; “Hai orang-orang yang beriman
taatilah
Allah dan taatilah Rosul-Nya dan ulil amri
diantara kalian. Kemudian jika
kalian berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikan persoalan itu
kepada Allah dan Rosul-Nya, jika kalian
benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Karena yang demikian
itu lebih utama dan lebih
baik akibatnya”.
(Majmu’ Fatawa; juz 2)
- Ibnu Qoyyim Al jauziyah rahimahullah
Ta’ala berkata; “Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa maksud kembali
kepada Allah yaitu kembali kepada kitab-Nya (Al Qur’an), adapun kembali
kepada Rosul-Nya yaitu kembali kepada Beliau ketika waktu masa hidupnya,
dan kembali kepada sunnahnya ketika belum telah wafat. Dan Allah Swt telah
memerintahkan kepada semua hamba-Nya yang beriman ketika ada persoalan
hukum yang diperselisihkan didalamnya (baik yang menyangkut urusan agama
ataupun dunia), supaya semua urusan tersebut dikembalikan kepada Allah dan
Rosul-Nya. Karena awal seruan (khitob) kepada mereka yang digunakan adalah
lafadz “ iman” (maksudnya orang-orang yang beriman), kemudian mengakhiri
kalimat tersebut dengan lafadz “iman” yang merupakan sebagai syarat dari
keimanan seseorang apabila dia menjalankan aturan ini, yaitu mengembalikan
segala perselisihan hukum kepada keduanya. Maka pengertian iman disini
menuntut adanya ketundukan dalam mengembalikan segala urusan yang
diperselisihkan kepada Allah dan Rosul-Nya. Jadi keimanan akan lenyap
dengan hilangnya ketundukan dia kepada keduanya. Maka barang siapa yang tidak mau mengembalikan apa saja yang
diperselisihkan dalam segala urusan kepada Allah dan Rosul-Nya, maka dia
bukan orang yang beriman.
(Al Kalamu ‘Ala Mas’alatis Sima’ ; Ibnu Qoyyim Al
jauziyah; hal:96-98)
( continue… )
Posting Komentar