KEWAJIBAN
TA’AT KEPADA PENGUASA YANG ‘ADIL DAN DZHOLIM
SELAMA MASIH MENEGAKKAN SYARIAT ALLAH DAN
TIDAK
MENAMPAKAN
KEKAFIRAN
(part II)
Keterangan dalam Hadits
- Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, dari Rosulullah Saw, Ia bersabda: “Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat terhadap apa yang dicintai dan dibenci selama dia tidak diperintahkan berbuat maksiat. Apabila dia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak wajib taat dan mendengar”. (Hr; Bukhori, Muslim, dan Abu Dawud)
- Dari Anas Ra berkata, bahwa Rosulullah Saw bersabda: “Dengarkan dan taatilah walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak habasyah, yang kepalanya seperti buah anggur kering (zabibah)”. (Hr: Bukhori).
- Dari Abu Huroiroh ra berkata; kekasihku Rosulullah saw telah mewasiatkan kepadaku agar Aku tunduk dan taat kepada pemimpin, sekalipun dia seorang budak habasyah yang cacat salah satu anggota tubuhnya”. (Hr: Muslim).
- Dari Ummul Husein ra, disebutkan, bahwa dia pernah mendengar Rosulullah Saw bersabda pada haji wada’nya : “Apabila yang memimpin kalian adalah seorang budak yang mengajak berhukum kepada kitabullah (Al Qur’an), maka patuhi dia dan taatilah”. (Hr: Muslim).
- Dari Ubadah bin Shomit ra, ia berkata; Kami telah bersumpah setia kepada Rosulullah Saw agar selalu tunduk dan patuh dalam segala keadaan, baik ketika senang maupun susah, baik dalam kondisi lapang maupun sulit serta lebih mementingkan pribadinya dari
pada kami, dan kami dilarang untuk tidak
mencabut jabatan kepemimpinan
dari orang
yang diserahinya, selama kalian tidak melihat
pemimpin tersebut
nyata-nyata berbuat kekafiran (kafir
bawwahan), padahal kalian memiliki
hujjah (bukti) disisi Allah terhadap
dirinya”. (Hr: Bukhori dan Muslim).
- Dari anak paman Auf bin Malik Al Asja’i, ia berkata; saya mendengar Auf bin Malik Al Asja’i berkata: saya mendengar Rosulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang mencintai kalian, dan kalianpun mencintainya, dan mereka sholat bersama kalian, kalianpun sholat bersamanya. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian, dan kalianpun membencinya, serta mereka yang melaknat kalian, sedangkan kalianpun melaknatnya. Kami para sahabat bertanya: “Ya Rosulullah Saw bagaimana kalau kita perangi mereka?, Beliau Saw memjawab:”jangan kamu perangi mereka, selama mereka masih menenjalankan sholat”. (Hr; Muslim).
- Dari Hudzaifah ibnu Yaman ra berkata, aku bertanya: “Ya Rosulullah kami dahulu hidup dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan (islam), apakah setelah kebaikan akan muncul keburukan?, Beliau Saw menjawab, betul. Kemudian aku bertanya lagi, apakah setelah keburukan akan muncul kembali kebaikan?, Beliau Saw menjawab, betul. Aku bertanya kembali, apakah setelah kebaikan akan muncul keburukan lagi?, Beliau Saw menjawab, betul. Bagaimana hal itu bisa terjadi?, Beliau Saw berkata: “Akan datang sepeninggalanku yaitu para pemimpin yang tidak mau mengambil petunjukku, dan tidak mau mengikuti sunnahku, dan ditengah-tengah mereka akan muncul juga para pemimpin (kejam dan dzolim), yang mana hati mereka seperti hati syaitan, tapi jasad mereka manusia. Lalu aku berkata; kalau begitu apa yang harus aku perbuat terhadap pemimpin-pemimpin tersebut bilamana aku menjumpainya?, Beliau Saw menjelaskan: hendaknya engkau patuhi dan taati dia, walaupun ia merampas hartamu dan memukul punggungmu, dengarkanlah serta taatilah dia”. (Hr: Muslim).
- Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: bahwa Rosulullah Saw bersabda: “Barangsiapa melihat suatu urusan dari pemimpinnya yang tidak disenanginya, maka hendaknya dia bersabar, karena apabila dia keluar dari jama’ahnya (kepemimpinannya) sejengkal saja, maka dia meninggal dalam kondisi jahiliyah (belum berislam), dan barangsiapa yang dia keluar dari ketaatannya, niscaya dia akan bertemu dengan Allah tidak memilki hujjah (bukti yang benar), serta barangsiapa meniggal dalam kondisi tidak memilki ikatan sumpah dilehernya (bai’ah), maka dia meninggal dalam kondisi jahiliyah (belum berislam)”. (Hr: Muslim).
Penjelasan hadits
- Syeikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilaly rahimahullah Ta’ala berkata: “Sudah seharusnya bagi umat islam mentaati para pemimpin mereka, baik yang adil maupun yang dzolim. Adapun para pemimpin yang adil, maka persoalan tersebut sudah jelas tanpa harus disebutkan. Adapun bagi para pemimpin yang fajir (dzolim), maka Allah Swt akan menolong agama islam ini dengan kekuasaan mereka, disebabkan karena mereka masih menegakkan hudud (undang-undang islam), mereka masih melindungi dan memberikan rasa aman kepada rakyatnya, dan juga mereka memerangi musuh-musuhnya, serta membagikan harta rampasan dengan adil”.
- Beliau berkata lagi: “Tidak diperbolehkan bagi rakyatnya keluar dari kataatan para pemimpinnya, selama mereka masih menjalankan syariat islam (undang-undang Allah), dan tidak menampakkan atau melakukan kekufuran (pembatal-pembatal keislaman). Dan wajib
bagi rakyatnya untuk Ulil amri terhadap para
pemimpin tersebut selama
mereka tidak memerintahkan kepada
kemaksiatan, tanpa harus memandang
dari jenis kulitnya ataupun orangnya. Oleh
karena itu, sebagaimana
Ali bin Abi Tholib ra berkata: “Sudah menjadi
kewajiban bagi manusia
untuk mentaati penguasa yang adil ataupun
yang fajir (dzolim). Lalu Beliau
ditanya: “Ya Amirul mu’minin, adapun penguasa
yang Adil kami sudah
memahaminya (kami akan taati), akan tetapi
dengan penguasa yang
Fajir (dzolim), kenapa harus kami mentaatinya
juga?, Beliau menjawab:
“Karena dengan pemerintahan mereka,
hukum-hukum hudud
(syariat islam) dijalankan, dan rakyat akan
mendapat perlindungan
(keamanan), serta mereka berjihad untuk
memerangi musuh-musuhnya
dan Fa’i (harta rampasan) dibagikan sesuai
dengan aturannya”.
(kitab:BAHJATUN NADZIRIN SYARAH RIYADHUS
SHOLIHIN:
juz1/710).
- Syeikh Muhammad bin Sholih Utsaimin rahimahullah Ta’ala berkata: “Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat-Nya: (sesungguhnya Allah telah memerintahkan berbuat adil dan berbuat kebaikan.../An-Nahl:90). Artinya berbuat adil diantara manusia sesuai dengan aturan atau syariat Allah, karena syariat Allah itu merupakan hukum yang paling adil. Dan adapun orang yang berhukum dengan undang-undang buatan manusia (hukum demokrasi, sosialis, komunis) yang menyelisihi syariat atau undang-undang Allah, maka hal tersebut merupakan bentuk kedzoliman yang paling besar”. Sebagaimana disebutkan dalam hadits imam Muslim (Tujuh kelompok yang akan dinaungi (ditolong) oleh Allah, yang mana tidak ada naungan pada hari kiamat nanti, kecuali naungan-Nya, disebutkan salah satunya: “Pemimpin yang adil”). Maksudnya pemimpin yang berbuat adil terhadap rakyatnya, karena tidak ada keadilan yang paling dicintai Allah melainkan pemimpin yang memutuskan hukum kepada rakyatnya dengan syariat Allah (undang-undang islam), dan inilah merupakan pokok keadilan. Dan barangsiapa yang berhukum selain syariat Allah, maka sesungguhnya dia bukan pemimpin yang adil, melainkan pemimpin yang kafir yang keluar dari islam. Sebagaimana Allah Swt berfirman: “barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka dia termasuk orang-orang yang kafir”. (Qs; Al Maidah:44).
(kitab Syarah Riyadhus Sholihin: juz1/347).
- Beliau berkata lagi: Maka jika pemimpin ini tetap menjalankan “QOWANIN” yaitu undang-undang yang dibuat manusia yang menyelisihi syariat, padahal dia mengerti kalau hukum tersebut menyelisihi syariat, akan tetapi dia tetap melanggarnya, dan berkata: “saya tidak melanggarnya”, maka sesungguhnya dia telah kafir (murtad), walaupun dia masih sholat, bershodaqoh, berpuasa, haji, berdzikir kepada Allah, serta mengakui risalah rosulnya (syariat yang dibawa Rosulullah Saw), dan ancaman bagi dirinya adalah dineraka jahannam pada hari kiamat, sedangkan dia kekal didalamnya. Dan bagi kaum muslimin tidak boleh loyalitas terhadapnya (membantu atau mencintainya), Dan hendaknya pemimpin yang seperti itu dilengserkan dari jabatannya, apabila kaum muslimin mampu menggulingkannya (melengserkannya).
(kitab Syarah Riyadhus Sholihin: juz1/200)
.
Kata-kata
mutiara
Seorang
ahli ilmu mengatakan: “Adapun berhukum
selain apa yang
diturunkan oleh Allah, kemudian
meyakini bahwa hukum-Nya tidak
memberikan mashlahat (kebaikan)
sedikitpun, atau membolehkan
mengambil hukum selain-Nya, atau
menyandarkan kewenangan pembuatan
hukum kepada selain Allah, padahal Dia
(Allah) adalah haqqut tasyri’
(yang berhak membuat hukum), seperti
hukum ilyasiq modern/demokrasi
yang menyelisihi syariat Allah, dan
tidak ridho atau merasa sesak dan
sempit hatinya apabila
hukum islam dijalankan, dan juga
membolehkan (menghalalkan) apa yang
dilarang oleh Allah, sebaliknya
melarang apa yang telah dibolehkan
(dihalalkan) oleh-Nya, seperti
menghalalkan (melegalkan hukum)
perzinaan, minuman khomer, perjudian,
riba, dan nikah lintas (beda)
(beda) agama. Sebaliknya melarang
hukum potong tangan bagi pencuri
merajam bagi pezina yang muhshon dan
dicambuk bagi yang belum
menikah, qishos bagi pembunuh,
poligami, berjilbab dan membunuh
orang murtad dan yang lain-lain.
Demikian juga ucapan yang mengatakan,
bahwa agama terpisah dari
pemerintahan, karena sesungguhnya
didalam islam tidak ada ajaran politik
(kekuasaan). Hal ini merupakan
bentuk dari kedustaan terhadap Al
Qur’an dan As Sunnah serta
Sejarah Nabi. Semua ini merupakan
tindakan-tindakan yang paling
dibenci oleh Allah dan termasuk
pembatal-pembatal keislaman”.
(Dirangkum dari kitab: Taujihat Islamiyah
Lil Ishlahil Fardhi wal
Mujtama’: Syeikh Muhammad bin Zamil
Zainu: Bab: Nawaqidhul
Islam: 28-29,
dengan tambahan redaksi).
Nb: Mudah-mudahan risalah yang kami
terjemahkan ini bisa membantu
kaum muslimin untuk memahami serta meyakini
akan kebenaran Allah
didalam ajaran islam, yang mana hari ini
banyak orang-orang yang
menyembunyikan kebenaran dan
menyelewengkannya. Dan kami berharap
agar Allah senantiasa menunjukkan
kebenaran-Nya kepada kita semua,
serta menjaga dan memenangkan Dien-Nya
hingga hari kiamat kelak,
walaupun orang-orang kafir, musyrik dan
munafiq itu tidak ridho dan
senang kepadanya.
Bagi yang ingin mendownlod artikel ini dengan
lengkap bisa di download di sini
::
http://www.mediafire.com/?81prroj5n54cdbt
Wallahu A’lam Bish showab Wahuwal
Musta’an.
Al
Faqir, Abu hamdan, 8 Mei/selasa/2012.
+ komentar + 1 komentar
Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
http://bogotabb.blogspot.co.id/
Posting Komentar